Saturday, June 26, 2010

Kepada Saudara Hamba; Raja Aceh Darussalam

Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masanya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau.

Sri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Puteri dari Kesultanan Pahang. Puteri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan kepada isterinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai musium cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karenanya Sultan membangun Gunongan untuk mengobati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.

Pada abad ke-16, Ratu Inggeris yang paling berjaya Elizabeth I sang Perawan, mengirim utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan juga mengirim surat dengan bertuliskan : "KEPADA SAUDARA HAMBA, RAJA ACEH DARUSSALAM." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang amat berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis diatas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih". Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Scotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

tahun 1591 Ratu Inggris Elizabeth I mendukung usaha Inggris untuk telibat langsung perdagangan rempah-rempah. Sir James Lancaster dan George Raymond mengadakan pelayaran ke Indonesia, di atas kapal terjangkit wabah penyakit yang mematikan, Raymond sendiri mati dan tenggelam bersama kapalnya di lautan, Lancester berhasil mencapai Pasai dan Penang.

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits -pendiri dinasti Oranje- juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama nasrani di pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang dirasmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernard suami mediang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Maha Mulia Ratu Beatrix.

Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Kekaisaran Ottoman yang berkedudukan di Konstantinompel. Karena saat itu wilayah kerajaan Sultan Ottoman sedang kering maka utusan kerajaan Aceh terluntang-lantung sedemikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut juga masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.

Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Diraja Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang amat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskanda r Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan melayu yang memiliki Bale Ceureumin atau Hall of Mirror di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari 2 kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Dunya. Didalamnya meliputi Medan Khayali dan medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya. Disanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan karena naiknya 4 Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Sri Ratu Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96an orang, 1/4 diantaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang Wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.

Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikta di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran Ottoman kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.

Setelah satu tahun perang, Sultan Aceh Mahmmud Syah mangkat karena wabah Kolera. Kerabat Sultan, Sultan Muhhamad Dawud Syah ditabalkan sebagai Sultan di Masjid Indra Puri. Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada belanda pada tahun 1903 setelah dua isterinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dengan bagunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernur. Pada saat sulta menyerahkan diri, maka lahirlah Traktat Pendek, yang berisi aturan mengenai :
1. Aceh mengakui kedaulatan Belanda;
2. hukum yang berlaku di Aceh adalah hukum Belanda
3. Aceh dilarang mengadakan hubungan –dalam bentuk apapun- dengan negara /kerajaan lain tanpa izin Belanda

QANUN JINAYAH DAN HUKUM ACARA JINAYAH (yang) TELAH HILANG

(Kajian Penemuan Hukum Dalam Pembaharuan Syari’at Islam di Aceh)

Oleh:

ZAKI ‘ULYA, S.H

Alumni Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

dan Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Hukum

Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

A. Pendahuluan

Aceh merupakan salah satu daerah provinsi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diberikan status istimewa dan juga khusus. Hal tersebut tentu dengan diberlakukannya UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh dan juga dengan undangkannya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Bagi Provinsi NAD, yang digantikan dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Berdasarkan ketentuan dalam UU No, 44 Tahun 1999, syari’at islam berdengung keras di bumi Serambi Mekkah. Hal ini ditandai dengan adanya 4 (empat) keistimewaaan yang diberlakukan di Aceh menurut undang-undang tersebut. Diantaranya yaitu bidang agama/syari’at islam, pendidikan, adat istiadat dan juga peran ulama.

Penegakan syari’at islam telah dimulai dengan diberlakukannya Qanun No. 12 Tahun 2003, Qanun 13 Tahun 2003 dan Qanun 14 Tahun 2003 dimana kesemua qanun tersebut mengenai khamar, maisir, dan khalwat. Pelaksanaan penegakan ketiga qanun tersebut ditandai dengan dibentuknya Wilayatul Hisbah sebagai satuan khusus penegak syari’at islam. Menyimak pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, terdapat beberapa keluhan terkait dengan metode penerapan Syariat Islam yang cenderung dipraktekkan dengan cara-cara bernuansa kekerasan oleh masyarakat di berbagai kabupaten dan kota di Aceh, dan pihak pelaksana Syariat Islam seperti tidak berdaya mencegah meluasnya tindak kekerasan yang sering diberitakan melalui media-media lokal di Aceh

Medium 2009, berkembang wacana dan juga niat Pemerintah Aceh untuk menggabungkan ketiga materi muatan qanun tersebut dalam satu naskah qanun dan juga penerapan aturan formilnya ditentukan juga tentang hukum acaranya yang kemudian disebut dengan Qanun Jinayah dan juga Qanun Acara Jinayah. Pembahasan kedua rancangan tersebut berjalan dilematis, dikarenakan adanya tarik ulur antara eksekutif dan legislatif Aceh terkait materi yang akan diatur.

Pembahasan tersebut kemudian mencapai anti klimaksnya dimana munculnya wacana bahwa qanun tersebut telah disahkan oleh pemerintah Aceh dan juga adanya kabar bahwa kedua rancangan tersebut disahkan sepihak oleh pihak legislatif Aceh. Dalam kaitannya dengan tema yang dikaji, penulis mengkaji pembahasan kedua rancangan tersebut dengan perspektif penemuan hukum dan juga hal kemungkinan yang akan dihadapi dalam tingkat pengesahannya.

B. Perspektif Penemuan Hukum Dalam Hukum Positif

Berbicara mengenai penemuan hukum tentu tidak lepas kepada subjek hukum yang dapat melakukan penemuan hukum. Dalam hukum, penemuan hukum disebut rechtsvinding. Penemuan hukum, pada hakekatnya mewujudkan pengembanan hukum secara ilmiah dan secara praktikal. Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum.[1]

Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkret. Terkait padanya antara lain diajukan pertanyaan-pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum harus diterapkan. Penemuan hukum berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum.[2]

Sebagai subjek yang dapat melakukan penemuan hukum, pada umumnya adalah hakim dengan eksistensinya dapat menggali nilai-nilai hukum yang ada dalam masyarakat dan mengenyampingkan hukum positif yang berlaku. Undang-undang sebagai salah satu pedoman hakim dalam memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan, kadangkala belum ada, tidak lengkap atau tidak jelas, sehingga hakim dituntut untuk menemukan, melengkapinya atau mencari kejelasan akan ketentuan hukumnya, dengan mencari, menggali atau mengikuti nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat, sehinga putusan hakim akan mereflesikan rasa keadilan dan kebenaran serta membawa kemaslahatan bagi masyarakat luas, bangsa dan negara.[3]

Namun, ada juga pihak lain yang dapat melakukan penemuan hukum , yaitu pihak legislatif selaku lembaga yang berwenang dalam menetapkan hukum. Penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh pihak legislatif yaitu dengan memasukkan ketentuan yang merupakan aspirasi masyarakat dan menampung aspirasi masyarakat dalam sebuah aturan hukum.

Dalam proses pengambilan keputusan hukum, seorang ahli hukum pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas atau fungsi utama, yaitu :

a. Seorang ahli hukum senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit (perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat, dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita yang hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri. Hal ini perlu dilakukan oleh seorang ahli hukum karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya tidak selalu dapat ditetapkan untuk mengatur semua kejadian yang ada didalam masyarakat. Perundang-undangan hanya dibuat untuk mengatur hal-hal tertentu secara umum saja.

b. Seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan sebab adakalanya pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan perkembangan didalam masyarakat.[4]

Melihat pernyataan diatas, maka dapat dipahami bahwa setiap ahli hukum mempunyai peran dan juga tugas dalam menemukan hukum dan setiap perundang-undangan yang ditetapkan setidaknya merupakan cerminan aspirasi masyarakat. Bukan merupakan parasit dalam masyarakat yang tidak dapat dilaksanakan maupun ditegakkan sama sekali.

C. Dilema Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Qanun Jinayah dan Acara Jinayah Serta Dampaknya

Tujuan dari pembentukan qanun jinayah dan acara jinayah adalah untuk mengakulmulasikan ketentuan syariat sebelumnya yang telah diatur dalam Qanun No. 12 Tahun 2003. Qanun No. 13 Tahun 2003 dan Qanun No. 14 Tahun 2003. Pro dan kontra terhadap kedua qanun tersebut, khususnya menyangkut jenis hukuman bagi pelaku zina dimana terdapat salah satu pasal yang diperdebatkan dan dipertentangkan yaitu masalah hukuman rajam (uqubat). Uqubat yaitu hukuman mati bagi pelanggar syariat islam (dalam hal ini, zina) dengan lemparan batu. Bagi pelaku yang belum menikah maka dihukum dengan hukuman cambuk sebanyak 100 kali cambuk.[5]

Prihal materi tersebutlah yang membuat kedua rancangan qanun tersebut bermasalah, hingga saat ini. Permasalahan tersebut coba ditutupi oleh pihak legislatif Aceh dengan mengesahkan qanun tersebut. Banyak pihak baik itu para praktisi dan akademisi hukum yang terlibat maupun tidak secara langsung dalam proses legislasi tersebut, berdiam diri. Seakan tiada upaya mengklarisifikasi hal tersebut.

Banyak hal yang akan terjadi bilamana kedua aturan hukum tersebut berlaku. Penerapan dan juga pelaksanaan penegakan kedua qanun tersebut akan terhambat secara praktis, dimana menurut penulis hambatan tersebut diantaranya budaya yang berlaku dan hidup di Aceh seperti tidak siap dengan adanya aturan hukum mengenai hukuman cambuk maupun rajam.

Hal ini tentu dapat dipahami, bahwa kondisi sosiologis masyarakat Aceh yang memang masih berjenjang. Maksud dari berjenjang disini adalah adanya stratifikasi sosial dan pembedaan kelas dalam masyarakat. Secara langsung, aturan tersebut akan berdampak pada masyarakat kelas bawah. Yaitu, masyarakat yang hanya mempunyai kemampuan ekonominya dibawah standar. Pernyataan tersebutpun penulis nyatakan bukan dengan tanpa alas an. Dapat dilihat selama diberlakukannya hukum cambuk, masyarakat awam dan kelas bawah saja yang dapat dicambuk.

D. Peran Political Will Seluruh Pihak Terkait

Political will pihak terkait sangat dibutuhkan dalam mendengungkan kembali kedua aturan hukum tersebut untuk dibahas kembali. Pembahasan kembali dapat dilakukan dengan menjaring kembali aspirasi masyarakat, sehingga kedua aturan hukum tersebut benar-benar mencerminkan tatanan kehidupan masyarakat, bukan aturan yang dipaksakan.

Sebagaimana diketahui bahwa kedua rancangan qanun tersebut seperti menguap dan menghilang tiada kabar. Oleh karena itu, dengan menjunjung nilai-nilai yang berlaku, pihak legislatif dan juga Pemerintah Aceh pun mempunyai peran tinggi dalam menyukseskan qanun tersebut. Hal ini sebagaimana kewenangan keduanya dalam membuat perundang-undangan tingkat daerah. Peran kedua lembaga tersebut dalam menemukan dan juga menentukan aturan hukum sangatlah besar. Sebuah cita-cita hukum akan tercapai dengan baik apabila tanpa adanya indikasi money politic.

Oleh karena itu, penulis menekankan adanya peran serta seluruh pihak yang ada untuk dapat mengadvokasi kembali kedua aturan tersebut agar sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Sehingga cita-cita hukum, yaitu pelaksanaan syari’at islam secara kaffah terealisasi dengan sebenar-benarnya. []



[1] Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya, Jakarta, 2001, hal. 13

[2] Ibid

[3] Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim, Sinar Grafika, 2010, hal. 20

[4] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty Yogyakarta, 2001, hal. 46

[5] Dapat dilihat dalam Zaki ‘Ulya, Perspektif Qanun Jinayah Dan Qanun Acara Jinayah Dalam Menciptakan Kelestarian Syariat Islam, http://www.id.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=650:perspektif-qanun-jinayah-dan-qanun-acara-jinayah-dalam-menciptakan-kelestarian-syariat-islam&catid=137:pro-kontra-qanun-jinayah&Itemid=267, diakses pada tanggal 24 Juni 2010

HAK GUNA USAHA DALAM ATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Pengertian Hak Guna Usaha

Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan.

Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960, pengertian tanah negara ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1953 (L.N. 1953, No. 14, T.L.N. No. 362). Dalam Peraturan Permerintah tersebut tanah negara dimaknai sebagai tanah yang dikuasai penuh oleh negara. Substansi dari pengertian tanah negara ini adalah tanah-tanah memang bebas dari hak-hak yang melekat diatas tanah tersebut, apakah hak barat maupun hak adat (vrij landsdomein). Dengan terbitnya UUPA tahun 1960, pengertian tanah Negara ditegaskan bukan dikuasai penuh akan tetapi merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.[1] Artinya, negara di kontruksikan bukan sebagai pemilik tanah. negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat yang bertindak selaku badan penguasa, yang diberikan wewenang dalam hal sebagai berikut :

a. mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya;

b. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas ( bagian dari ) bumi, air dan ruang angkasa itu;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai buni, air dan ruang angkasa.”

Setelah lahirnya UUPA, di dalam berbagai peraturan perundang-undangan disebutkan bahwa pengertian tanah negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah. Atas pemahaman konsep dan peraturan perundang-undangan tentang pengertian tanah negara dapat ditarik kesimpulan dalam tataran yuridis bahwa terdapat dua kategori tanah negara dilihat dari asal usulnya:

1. tanah negara yang berasal dari tanah yang benar-benar belum pernah ada hak atas tanah yang melekatinya atau disebut sebagai tanah negara bebas;

2. tanah negara yang berasal dari tanah-tanah yang sebelumnya ada haknya, karena sesuatu hal atau adanya perbuatan hukum tertentu menjadi tanah negara. Tanah bekas hak barat, tanah dengan hak atas tanah tertentu yang telah berakhir jangka waktunya, tanah yang dicabut haknya, tanah yang dilepaskan secara sukarela oleh pemiliknya.[2]

Berdasarkan pengertian tersebut, Hak Guna Usaha merupakan suatu hak yang diberikan oleh negara kepada subjek hukum tertentu dengan syarat yang tertentu pula untuk mengelola dan mengusahakan tanah negara dengan orientasi yang bergerak dalam bidang pertanian, perikanan atau peternakan.[3]

Ciri-ciri yang melekat pada hak menurut hukum, dalam catatan Satjipto Rahardjo[4], mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

a. Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran dari pada hak.

b. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.

c. Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commission) atau tidak melakukan (omission) sesuatu perbuatan, yang disebut sebagai isi dari pada hak

d. Commission atau omission itu menyangkut sesuatu yang disebut sebagai objek dari hak,

e. Setiap hak menurut hukum mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu kepada pemiliknya.

1. Subjek Hak Guna Usaha

Suatu hak hanya dimungkinkan diperoleh apabila orang atau badan yang akan memiliki hak tersebut cakap secara hukum untuk menghaki objek yang menjadi haknya. Pengertian yang termasuk pada hak meliputi, hak dalam arti sempit yang dikorelasikan dengan kewajiban, kemerdekaan, kekuasaan dan imunitas.

Adapun subjek yang dapat memegang Hak Guna Usaha telah diatur dalam pasal 30 UUPA yang menjelaskan subjek hukum yang dapat menjadi pemegang hak atas tanah, yaitu :

a. Warga Negara Indonesia

Sebagai subjek hukum, warga negara Indonesia memiliki otoritas untuk melakukan kewajiban dan mendapatkan haknya. Dengan kata lain, warga negara Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu, misalnya mengadakan suatu perjanjian, mengadakan perkawinan, membuat surat wasiat, dan lain sebagainya termasuk mengadakan suatu perbuatan hukum yang menyangkut dengan tanah dan hak-hak atas tanah.[5]

Pada prinsipnya setiap orang adalah subjek hukum (natuurljik persoon). Dikaitkan dengan kemampuan menjunjung hak dan kewajiban, orang akan menjadi subjek hukum apabila perorangan tersebut mampu mendukung hak dan kewajibannya. Dalam pengertian ini, maka orang-orang yang belum dewasa, orang yang dibawah perwalian dan orang yang dicabut hak-hak keperdataanya tidak dapat digolongkan sebagai subjek hukum dalam konteks kemampuan menjunjung hak dan kewajiban. Intinya, ada ketentuan-ketentuan tertentu yang harus dipenuhi agar seseorang warga negara dapat digolongkan sebagai subjek hukum,[6] yaitu :

1) telah dewasa (jika telah mencapai usia 21 tahun ke atas)

2) tidak berada dibawah pengampuan (curatele), dalam hal ini seseorang yang dalam keadaan gila, mabuk, mempunyai sifat boros, dan mereka yang belum dewasa.

b. Badan Hukum Indonesia

Badan hukum juga disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban yang tidak berjiwa. Perbedaannya dengan subjek hukum orang perorangan adalah badan hukum itu hanya dapat bergerak bila ia dibantu oleh subjek hukum orang. Artinya, ia tidak dapat melakukan perbuatan hukum tanpa didukung oleh pihak-pihak lain. Selain itu, badan hukum tidak dapat dikenakan hukuman penjara (kecuali hukuman denda)[7]

Untuk dapat menjadi subjek Hak Guna Usaha, badan hukum harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :

1. didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia

2. berkedudukan di indonesia.

Hal ini membawa konsekwensi bahwa setiap badan hukum, selama didirikan menurut ketentuan hukum dan berkedudukan di Indonesia dapat menjadi subjek hak guna usaha. Apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana di atas, maka berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996, maka dalam jangka waktu satu tahun Hak Guna Usaha tersebut wajib dilepaskan atau dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila tidak dialihkan, Hak Guna Usaha tersebut hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.

2. Objek Hak Guna Usaha

Objek tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah negara. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tanah negara adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan belum atau tidak terdapat hak-hak lain di atas tanah tersebut.

Jika tanah yang diberikan Hak Guna Usaha tersebut merupakan tanah negara yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian Hak Guna Usaha baru dapat dilakukan setelah adanya pencabutan statusnya sebagai kawasan hutan. Demikian juga bila di atas tanah tersebut terdapat hak-hak lain, maka pemberian Hak Guna Usaha baru dapat dilakukan apabila pelepasan hak yang sebelumnya telah selesai. Hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.

Selanjutnya, dalam rumusan Pasal 4 ayat (4) disebutkan bahwa apabila di atas tanah yang akan diberikan Hak Guna Usaha tersebut terdapat bangunan dan/atau tanaman milik pihak lain yang keberadaannya sah secara hukum, maka pemegang Hak Guna Usaha dibebankan untuk memberikan ganti kerugian kepada pemilik bangunan/tanaman yang ada di areal itu sebagai penghargaan terhadap hak atas tanah yang dihaki oleh pemegang hak sebelumnya.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di atasnya menyebutkan bahwa ganti rugi yang layak itu disandarkan pada nilai nyata/sebenarnya dari tanah atau benda yang bersangkutan. Ganti kerugian ini ditetapkan oleh Pemerintah atas usul Panitia Penaksir yang terdiri dari pejabat ahli dalam bidangnya.

Dalam penetapan besarnya ganti rugi terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : penetapannya harus didasarkan atas musyawarah antara Panitia dengan parapemegang hak atas tanah dan penetapannya harus memperhatikan harga umum setempat, disamping faktor-faktor lain yang mempengaruhi harga tanah.[8] Selain itu, perlu pula dipertimbangkan adanya faktor-faktor non fisik (immateril) dalam penentuan besarnya ganti rugi. Misalnya, turunnya penghasilan pemegang hak dan ganti kerugian yang disebabkan karena harus melakukan perpindahan tempat/pekerjaan.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya yang menyebutkan bahwa musyawarah merupakan salah satu tahapan yang tidak dapat dikesampingkan dalam proses penetapan ganti kerugian, yaitu peran aktif masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah sebelum hak atas tanah tersebut dialihkan kepada pihak lain. Pentingnya jaminan bahwa proses musyawarah berjalan sebagai proses tercapainya kesepakatan secara sukarela dan bebas dari tekanan pihak manapun dan dalam berbagai bentuknya juga sangat diperlukan.[9] Hal ini dikarenakan syarat-syarat untuk tercapainya musyawarah secara sukarela dan bebas tersebut sangat menetukan jalannya proses penetapan ganti kerugian. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :

a) ketersediaan informasi secara jelas dan menyeluruh tentang hal-hal yang berhubungan langsung dengan parapihak (dampak dan manfaat, besarnya ganti kerugian, rencana relokasi bila diperlukan, rencana pemulihan pendapatan dan lain sebaginya),

b) suasana yang kondusif

c) keterwakilan parapihak

d) kemampuan parapihak untuk melakukan negosiasi

e) jaminan bahwa tidak adanya tipuan, pemaksaan, atau kekerasan dalam proses musyawarah.[10]

Walaupun secara prosedural musyawarah telah memenuhi syarat-syarat di atas, namun apabila keputusan yang dihasilkan dilandasi adanya tekanan, maka tidaklah dapat dikatakan telah dicapai kesepakatan karena tekanan itu merupakan wujud dari pemaksaan kehendak dari satu pihak untuk menekan pihak lain agar mengikuti kehendaknya. Dengan kata lain, kesepakatan itu terjadi dalam keadaan terpaksa. Disamping itu, keterlibatan orang/pihak di luar kepanitaan yang tidak jelas/fungsi dan tanggungjawabnya akan semakin mengaburkan arti musyawarah tersebut.

Bila dikarenakan ada sebab-sebab tertentu yang terjadi sehingga proses musywarah tidak dapat berlangsung sebagaimana diharapkan, maka upaya parapemegang hak atas tanah tersebut sebelum dialihkan kepada pemegang hak atas tanah yang baru dapat melakukan beberapa upaya penyelesaian sengketa,baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi.

Dalam rangka pemberian Hak Guna Usaha, tidak semua tanah dapat menajdi objek Hak Guna Usaha. Adapun tanah-tanah yang dikecualikan sebagai objek Hak Guna Usaha tersebut adalah[11]:

a. tanah yang sudah merupakan perkampungan rakyat,

b. tanah yang sudah diusahakan oleh rakyat secara menetap,

c. tanah yang diperlukan oleh pemerintah.

Dalam konteks luas tanah yang dapat diberikan status Hak Guna Usaha, Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 menyebutkan bahwa luas minimum tanah yang dapat diberikan status Hak Guna Usaha adalah lima hektar. Sedangkan luas maksimum dari tanah yang dapat diberikan kepada perorangan adalah dua puluhlima hektar. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3). Untuk luas tanah yang akan diberikan kepada badan hukum ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaha yang bersangkutan dengan mengingat luas tanah yang diperlukan untuk melaksanakan usaha yang paling berdaya guna di bidang usaha yang bersangkutan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahu 1996.[12]

3. Jangka Waktu Hak Guna Usaha

Jangka waktu pemberian Hak Guna Usaha dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. Dalam rumusan pasal tersebut disebutkan bahwa:

(1) Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.

(2) untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan Hak Guna Usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.

(3) atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25 tahun.

Berdasarkan rumusan pasal 29 sebagaimana tersebut di atas, dapat diketahui bahwa Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu antara 25 tahun hingga 35 tahun, dengan ketentuan bahwa setelah berakhirnya jangka waktu tersebut, Hak Guna Usaha tersebut dapat diperpanjang untuk masa 25 tahun berikutnya.

Ketentuan mengenai jangka waktu dan perpanjangan Hak Guna Usaha dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Pasal 8 menyatakan bahwa:

(1) Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun

(2) sesudah jangka waktu Hak Guna Usaha dan perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha di atas tanah yang sama.

Berdasarkan rumusan pasal 8 tersebut, diketahui bahwa Hak guna Usaha dapat diberikan untuk jangka waktu maksimum (selama-lamanya) enam puluh tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. tanah tersebut masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian haknya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996.

b. syarat-syarat pemberian hak tersebut masih dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak

c. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.[13]

Dengan demikian, setelah berakhirnya jangka waktu 35 tahun dengan perpanjangan selama 25 tahun (seluruhnya berjumlah 60 tahun), Hak Guna Usaha hapus demi hukum. Hapusnya Hak Guna Usaha ini bukan berarti tidak dapat diperbaharui. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 yang menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha yang telah berkahir jangka waktunya atau hapus dapat diperpanjang kembali.

4. Hapusnya Hak Guna Usaha

Hapusnya Hak Guna Usaha secara jelas telah diatur di dalam pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang menjelaskan sebagai berikut

a. berakhirnya jangka waktu sebagaimana yang ditetapkan dalam keputusan pemberian hak atau perpanjangannya,

b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena :

1) pemegang hak tidak melakukan kewajiban-kewajibannya, yaitu :

a) tidak membayar uang pemasukan kepada negara;

b) tidak melaksanakan usaha dibidang pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan sesuai dengan peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputuan pemberian haknya;

c) tidak mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis;

d) tidak membangun dan/atau menjaga prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha;

e) tidak memelihara kesuburan tanah dan tidak mencegah terjadinya kerusahan sumber daya alam serta kelestarian lingkungan;

f) tidak menyampaikan laporan secara tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan dan pengelolaan Hak Guna Usaha;

g) tidak menyerahkan kembali tanah dengan Hak Guna Usaha kepada negara setelah hak tersebut hapus;

h) tidak menyerahkan sertifikat Hak Guna Usaha yang telah berakhir jangka waktunya kepada kantor pertanahan.

2) adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

c. dilepaskan oleh pemegang hak secara sukarela sebelum jangka waktunya berakhir;

d. dicabut untuk kepentingan umum;

e. ditelantarkan (objek Hak Guna Usaha tidak dimanfaatkan sebaik mungkin oleh pemegang hak);

f. tanahnya musnah, misalnya akibat terjadi bencana alam;

g. pemegang hak tidak lagi memenuhi syarat dan tidak melepaskannya kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak. [14]

B. Pemberian Hak Guna Usaha Atas Tanah

1. Kewenangan Pemberian Hak Guna Usaha Atas Tanah

Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah menyebutkan bahwa yang berwenang memberikan hak atas tanah adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang merupakan pejabat pemerintah pusat yang meliputi Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, Kepala Kanwil BPN Propinsi dan Kepala BPN Pusat sesuai dengan pelimpahan kewenangan yang diberikan kepada masing-masing pejabat.

Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tersebut, kewenangan pemberian Hak Guna Usaha tidak dilimpahkan pada Kantor Kabupaten/Kota, tetapi pada kantor wilayah BPN Propinsi dan BPN Pusat. Kewenangan pemberian Hak Guna Usaha atas tanah oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi hanya terhadap pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 hektar (dua ratus hektar), sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1999 bahwa ”Kepala kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi memberi keputusan mengenai pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 ha (dua ratus hektar)”. Dengan demikian pemberian Hak Guna Usaha di atas tanah yang luasnya lebih dari 200 ha merupakan kewenangan dari Badan Pertanahan Nasional Pusat.

2. Syarat-syarat permohonan Hak Guna Usaha

Syarat-syarat permohonan Hak Guna Usaha atas tanah diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999 tentang Tatacara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :

1. untuk mengajukan permohonan Hak Guna Usaha atas tanah harus diajukan secara tertulis dan pemohon harus warga negara Indonesia. Jika badan hukum yang mengajukan perrmohonan Hak Guna Usaha, maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum yang didirikan di Indonesia dan berdasarkan hukum Indonesia.

2. permohonan yang diajukan harus memuat keterangan mengenai hal-hal berikut sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999, yaitu :

a. keterangan mengenai pemohon :

1). apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjannya;

2) apabila badan hukum: nama badan hukum, tempat kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik, yaitu:

1). dasar penguasaanya, dapat berupa akta pelepasan kawasan hutan, akta pelepasan bekas tanah milik adat dan surat bukti perolehan tanah lainnya;

2). letak, batas-batas dan luasnya (jika sudah ada surat ukur disebutkan tanggal dan nomornya);

3). jenis usaha (pertanian, perikanan atau peternakan).

c. keterangan lainnya, yaitu :

1). keterangan mengenai jumlah bidang, luas, dan status tanah-tanah yang dimiliki, termasuk bidang tanah yang dimohon;

2). keterangan lain yang dianggap perlu.

3. permohonan harus melampirkan hal-hal sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 19 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999, yaitu :

a. foto copy identitas permohonan atau akta pendirian perusahaan yang telah memperoleh pengesahan dan telah didaftarkan sebagai badan hukum;

b. rencana pengusahaan tanah jangka pendek dan jangka panjang.

c. izin lokasi atau surat izin penunjukan penggunaan tanah atau surat izin pencadangan tanah sesuai dengan Rencana tata ruang Wilayah;

d. bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa pelepasan kawasan hutan dari instansi yang berwenang, akta pelepasan bekas tanah milik adat atau surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;

e. persetujuan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman Modal Asing (PMA) atau surat persetujuan dari Presiden bagi Penanaman Modal Asing tertentu atau surat persetujuan prinsip dari Departemen Teknis bagi non Penanaman Modal Dalam Negeri atau Penanaman Modal Asing;

f. surat ukur apabila ada.

Mengenai syarat izin lokasi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 19 huruf c prosedur untuk mendapatkan izin lokasi tersebut diatur dalam pasal 6 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1999 tentang Izin Lokasi.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1999, disebutkan bahwa ”Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai zin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya”[15] Sedangkan menurut BF. Sihombing, izin lokasi didefinisikan sebagai izin yang diberikan kepada perusahaan unutk memperoleh tanah yang telah diberikan pencadangan tanah.[16]

Dalam pemberiannya, izin lokasi berdasarkan pertimbangan mengenai aspek penguasaan dan tehnis tata guna tanah yang meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan, termasuk juga penguasaan fisik wilayah, penggunaan tanah serta kemampuan tanah[17]. Adapun tanah yang dapat ditunjuk dalam izin lokasi adalah tanah yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang akan dilaksanakan oleh perusahaan berdasarkan persetujuan penanaman modalnya dan Izin lokasi hanya dapat diberikan kepada perusahaan yang sudah mendapatkan persetujuan penanaman modal sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Bila ditinjau jangka waktu pemberian izin lokasi, berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1999, izin lokasi diberikan untuk jangka waktu sebagai berikut :

a. 1 (satu) tahun : izin lokasi seluas sampai dengan 25 ha,

b. 2 (dua) tahun : izin lokasi seluas lebih dari 25 ha samapi dengan 50 ha,

c. 3 (tiga) tahun : tahun lokasi seluas lebih dari 50 ha.

Dengan demikian, syarat permohonan mendapatkan Hak Guna Usaha atas tanah baru dapat diberikan setelah menyelesaikan prosedur mendapatkan izin lokasi. Dengan kata lain, Hak Guna Usaha atas tanah tidak dapat diberikan sebelum penyelesaian terhadap pelepasan atau pembebasan hak-hak di atas tanah yang dimohon, baik berupa hak perorangan atas tanah ataupun perubahan status hak tertentu yang terdapat di atas tanah tersebut.

3. Tata Cara Pemberian Hak Guna Usaha

Tata cara pemberian Hak Guna Usaha secara jelas telah diatur dalam Pasal 20 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999. Dalam Pasal 20 ayat (1) disebutkan bahwa : ”permohonan Hak Guna Usaha diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah, dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah tanah yang bersangkutan”. Sedangkan dalam Pasal 20 ayat (2) dijelaskan bahwa ”apabila tanah yang dimohon terletak dalam lebih dari satu daerah Kabupaten/Kotamadya, maka tembusan permohonan disampaikan kepada masing-masing Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan”.

Pasal 20 ayat (1) menjelaskan bahwa pemohon harus mengajukan permohonan kepada Menteri, bukan kepada Kepala Kantor Wilayah. Artinya, Kepala Wilayah bukanlah pejabat yang berhak memberikan jawaban langsung atas permohonan yang diajukan oleh calon pemegang Hak Guna Usaha. Dalam Pasal 20 ayat (2) sebagaimana disebutkan di atas bahwa calon pemegang dimungkinkan mengajukan permohonan atas beberapa areal tanah yang tersebar di tempat berbeda, namun permohonan yang ditujukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah harus disampaikan tembusannya kepada Kepala Kantor Pertanahan di daerah masing-masing tempat areal atanah itu berada. Keputusan diterima atau ditolaknya permohonan calon pemegang hak tetap berada pada Menteri dan akan disampaikan kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebut kepada pihak yang berhak sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999.



[1] Hal ini telah dijelaskan dalam Penjelasan Umum II (2) UUPA yang secara jelas meyatakan prinsip untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah.

[2] BF Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, hal. 79

[3] www.property.net, diakses pada tanggal 20 November 2008.

[4] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 55

[5] Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, 2005, hal. 24

[6] CTS Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 118

[7] Ibid, hal. 118

[8] Maria Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008, ha.251.

[9] Hal ini sebagaimana telah diatur secara jelas dalam Pasal 9 Keppres Nomor 55/1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

[10] Op.cit, hal. 272

[11] Sudharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Edisi Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal. 24

[12] Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 112

[13] Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan, Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2008 hal.158

[14] Ibid, hal. 172

[15] CST. Kansil, Kitab Undang-Undang Hukum Agraria; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan Peraturan Pelaksanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal.837

[16]B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2005, hal. 267.

[17]Hal ini sebagaimana di atur dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1999.

Tulisan ini merupakan bagian dari Tugas Akhir (Skripsi) penulis dengan judul "Pelaksanaan Pemberian Hak Guna Usaha Kepada PT. Bumi Flora di Kecamatan Banda Alam Kabupaten Aceh Timur"