Saturday, July 31, 2010

TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK DAERAH


A. Pengertian dan Dasar Hukum Pajak Daerah

Dalam hidup bermasyarakat manusia tidak pernah lepas dari interaksi antara satu dengan yang lainnya dan termasuk dengan lingkungannya. Interaksi ini biasanya melahirkan suatu norma yang disepakati dan dipatuhi secara bersama untuk mengatur dan menjamin keharmonisan hidupnya. Dengan kata lain, manusia dalam bersosialisasi di lingkungannya tidak boleh melakukan perbuatan semaunya sendiri, tetapi harus menjunjung tinggi nilai dan kepentingan bersama agar harmonisasi hidup dapat terealisasi.

Jadi, pada hakikatnya dalam kehidupan manusia selalu terikat pada aturan-aturan yang membatasi ruang gerak langkahnya demi suatu kebutuhan dan kepentingan bersama, seperti kebutuhan akan rumah peribadatan, keamanan, sekolah, kebersihan lingkungan, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya untuk mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Aturan-aturan tersebut biasanya tertuang dalam norma hukum yang mengatur falsafah hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Norma hukum ini di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Aceh merupakan salah satu daerah otonom yang diberikan kewenangan dalam hal pelaksanaan otonomi khusus, dimana keberadaan Aceh ditentukan berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Terkait pemasalahan pemanfaatan sumber daya alam dan lainnya yang tujuannya untuk kemakmuran masyarakat ditentukan dalam Pasal 156 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menyebutkan bahwa “Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengelola sumber daya alam di Aceh baik di darat maupun di laut wilayah Aceh sesuai dengan kewenangannya.” Yang selanjutnya ditegaskan kembali dalam Ayat (2) pasal tersebut yaitu “Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi, dan budidaya”. Pasal 156 Ayat (3) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan “Sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan yang dilaksanakan dengan menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan”.

Atas dasar sebagaimana ditentukan dalam UU No. 11 Tahun 2006 tersebut, Pemerintahan Aceh berwenang dalam mengelola sumber daya alam yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi, dan budidaya. Terkait dalam hal pengawasan kegiatan usaha dalam bentuk eksplorasi dan eksploitasi dilakukan dengan mekanisme pemberian izin terhadap pelaksanaan pengawasan tersebut.

Sebagai salah satu Pendapatan Asli Daerah, Pajak daerah diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penylenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, daerah mampu melaksakan otonomi, yaitu mampu mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.

Dengan adanya otonomi daerah, maka pemerintah daerah diharapkan untuk lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan yang ada di daearhnya, khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Oleh karena itu Pemerintah daerah harus dapat mengupayakan peningkatan penerimaan yang berasal dari daerah sendiri, sehingga akan memperbesar tersedianya keuangan daerah yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan pembangunan.

Terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah, terjadi melalui proses penyerahan sejumlah kekuasaan/ kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah di mana implementasi kebijakan desentralisasi memerlukan banyak faktor pendukung. Salah satu faktor pendukung yang secara signifikan menentukan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalahkemampuan daerah untuk membiayai pelaksanaan kekuasaan/kewenangan yang dimilikinya, di samping faktor-faktor lain seperti kemampuan personalia di daerah dan kelembagaan pemerintah daerah.[1]

Sehubungan dengan sumber penerimaan keuangan untuk membiayai pembangunan, Soetrisno berpendapat:

Bahwa sumber penerimaan yang ideal untuk membiayai pembangunan adalah sumber penerimaan yang bersifat terus menerus dan juga selalu mengalami kenaikan. Terus-menerus dalam arti selalu dapat diharapkan masuk ke Kas Negara, sedangkan sumber penerimaan yang memenuhi persyaratan ideal tersebut adalah berasal dari pajak, baik itu pajak langsung maupun pajak tidak langsung.[2]

Menurut Bintoro Tjokroamidjojo, sumber penerimaan keuangan tersebut dapat disesuaikan, diantara lain:

1. Dari pendapatan dan melalui pajak yang sepenuhnya di serahkan kepada atau yang bukan menjadi kewenangan pemajakan pemerintah pisat dan masih ada potensinya di daerah.

2. Penerimaan dari jasa-jasa pelayanan daerah, seperti misalnya retribuasi, tarif, perizinan terrentu dan lain-lain.

3. Pendapatan-pendapatan daerah yang diperoleh dari keuntungan perusahaan-perisahaan daerah.

4. Penerimaan daerah dari perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

5. Pendapatan daerah karena pemberian subsidi secara langsung atau yang penggunaannya ditentukan daerah tersebut.

6. Seringkali terdapat pula pemberian bantuan dari pemerintah pusat yang bersifat khusus karena keadaan-keadaan tertentu.

7. Penerimaan-penerimaan daerah yang didapat dari pinjaman-pinjaman yang dilakukan pemerintah daerah.[3]

Untuk memahami pengertian pajak daerah ada baiknya terlebih dahulu dipahami pengertian pajak pada umumnya. Rumusan pengertian pajak ini cukup banyak didefinisikan oleh para sarjana. Meskipun antara sarjana yang satu dengan sarjana yang lain terdapat perbedaan dalam memberikan pengertian tentang pajak, namun pada dasarnya mempunyai makna atau maksud yang sama.

Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani yang dimaksud dengan pajak, adalah:

Iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraruran-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.[4]

Kesimpulan yang dapat ditarik dari definisi tersebut adalah, bahwa Prof. Adriani memasukkan pajak sebagai pengertian yang diangggapnya sebagai suatu species kedalam genus pungutan (jadi, pungutan adalah lebih luas).

Sedangkan Rochmat Soemitro mengemukakan pendapatnya bahwa:

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang(yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal-balik (kontra-prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.[5]

Rahmat Soemitro menjelaskan bahwa unsur ”dapat dipaksakan” artinya bahwa bila utang pajak tidak dibayar, maka utang pajak tersebut dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan seperti dengan mengeluarkan surat paksa dan melakukan penyitaan bahkan bisa dengan melakukan penyanderaan. Sedangkan terhadap pembayaran pajak tersebut tidak dapat ditunjukkan jasa timbal-balik tertentu, seperti halnya dengan retribusi.

Dari beberapa pengertian pajak yang dikemukakan oleh para sarjana diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ada lima unsur yang melekat dalam pengertian pajak, yaitu:

1. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang;

2. Sifatnya dapat dipaksakan. Artinya wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran pajak, dapat dikenakan sanksi pidana maupun denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3. Tidak dapat ditunjukkannya kontra-prestasi (imbalan) secara langsung. Artinya wajib pajak tidak mendapatkan imbalan secara langsung dengan apa yang telah dibayarkannya pada pemerintah. Pemerintah tidak memberikan nilai atau keuntungan kepada wajib pajak secara langsung. Wajib pajak hanya dapat merasakan secara tidak langsung bentuk-bentuk kontraprestasi dari pemerintah. Seperti melihat banyak dibangunnya fasilitas umum dan prasarana yang dibiayai dari APBN dan APBD. Merasakan keamanan dan stabilitas negara karena aparatur negara maupun prasarana dan sarana pertahanan dan keamanan negara telah dibiayai dengan pajak;[6]

4. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun daerah; dan

5. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.

Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah disebutkan diatas, maka dapat dikatakan bahwa pajak merupakan salah satu penerimaan negara yang terpenting, dan digunakan untuk membiayai atau menutupi pengeluaran negara.

Secara umum pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh negara (pemerimtah) berdasarkan Undang-Undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) secara langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.

Selanjutnya, menurut Soetrisno definisi pajak daerah dapat diuraikan sebagai berikut:

Pajak daerah yaitu pungutan daerah yang berdasarkan peraturan yang ditetapkan guna pembiayaan pengeluaran-pengeluaran daerah sebagai badan publik. Sedangkan lapangan pajaknya dalah lapangan pajak yag belum diusahakan oleh negara.[7]

Dari definisi di atas, ada beberapa ciri yang melekat dalam pengertian pajak daerah, yaitu:[8]

1. Pajak daerah dapat berasal dari pajak asli daerah maupun pajak negara yang diserahkan kepada daerah sebagai pajak daerah.

2. Pajak daerah dipungut oleh daerah terbatas di wilayah administratif yang dikuasainya.

3. Hasil pungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai urusan rumah tangga daerah.

4. Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkankekuatan Peraturan Daerah (Perda), maka sifat pemungutan pajak daerah dapat dipaksakan kepada masyarakat yang wajib membayar dalam lingkungan administratif kekuasaannya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, yang dimaksud dengan pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Selanjutnya yang dimaksud dengan Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C adalah pajak atas kegiatan pengambilan bahan galian Golongan C sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[9]

Dasar hukum pemungutan pajak adalah Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi ”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Dalam hal ini pengertian negara termasuk pula bagian-bagiannya yang disebut daerah otonom, sehingga daerah otonom dapat juga memungut pajak daerah berdasarkan peraturan daerah.

Dengan demikian Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar hukum utama dalam pemungutan pajak, yang selanjutnya dijabarkan dalam bentuk Undang-undang. Sedangkan dasar hukum bagi pemungutan pajak daerah adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Yang selanjutnya di gantikan oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 sebagai upaya untuk mengubah sistem perpajakan daerah dan retribusi daerah yang berlangsung di Indonesia, yang banyak menimbulkan kendala, baik dalam penetapan maupun dalam pemungutannya. Dalam perkembangan penerapan Undang-Undang tersebut, pemerintah dan DPR merasa perlu dilakukan perubahan dan penyempurnaan seiring dengan perkembangan situasi perekonomian secara makro serta perubahan kondisi sosial politik, yang ditandai dengan semangat otonomi daerah yang semakin besar. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 lahir sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997.[10] Sesuai dengan perkembangan zaman maka Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 sudah tidak sesuai lagi, dan kemudian digantikan oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, ditetapkan ada enam belas jenis pajak daerah, yaitu terdiri dari lima jenis pajak provinsi dan sebelas jenis pajak kabupaten/kota.

1. Pajak provinsi terdiri dari:

a. Pajak Kendaraan Bermotor;

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;

c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;

d. Pajak air permukaan dan;

e. Pajak Rokok.

2. Pajak kabupaten/kota terdiri dari:

a. Pajak Hotel;

b. Pajak Restoran;

c. Pajak Hiburan;

d. Pajak Reklame;

e. Pajak Penerangan Jalan;

f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;

g. Pajak Parkir;

h. Pajak Air Tanah;

i. Pajak Sarang Burung Walet;

j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dan;

k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Di dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, juga disebutkan tentang palak daerah yaitu:

(1) Pendapatan Asli Daerah bersumber dari:

a. Pajak Daerah;

b. Retribusi Daerah;

c. Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan

d. Lain- lain PAD yang sah.

Dari ketentuan Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tersebut diatas, maka salah satu pendapatan daerah yang sangat penting berasal dari pajak daerah yang gunanya untuk membiayai pembangunan daerah. Oleh karena itu usaha-usaha untuk meningkatkan hasil pendapatan daerah khususnya pajak daerah harus ditingkatkan semaksimal mungkin. Dengan semakin besarnya pendapatan daerah, maka semakin banyak pula kegiatan pemerintah daerah dapat dilaksanakan, terutama dalam membiayai pelaksanaan pembangunan.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka R. Soedargo berpendapat bahwa :

Oleh karena suatu peraturan daerah adalah, hasil kerja dari Dewan Perwakilan Rakyat, maka dapat dikatakan juga bahwa penungutan pajak daerah itu rakyat yang bersangkutan telah meminta persetujuan melalui wakil-wakilnya yang duduk dalam Dewan Perwakilan Rakyat.[11]

Berdasarkan dari uraian di atas dapat ditarik suatu batasan bahwa segala pungutan yang dilakukan oleh pemerintah harus berdasarkan kapada dasar hukum atau peraturan yang mengaturnya.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah, telah mengatur dengan jelas bahwa untuk dapat dipungut pada suatu daerah, setiap jenis pajak daerah harus ditetapkan dengan peraturan daerah. Hal ini berarti untuk dapat diterapkan dan dipungut pada suatu daerah provinsi, kabupaten, atau kota, harus terlebih dahulu ditetapkan peraturan daerah tentang pajak daerah tersebut.

Peraturan daerah tentang suatu pajak daerah diundangkan dalam lembaran daerah yang bersangkutan. Peraturan daerah tentang suatu pajak daerah tidak dapat berlaku surut dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Hal tersebut juga sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 146 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa ” Peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah, dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, Perda, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”.

Kemudian khusus untuk Aceh, mengenai pajak daerah juga diatur dalam Pasal 180 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dengan demikian dalam mewujudkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka pemerintah daerah Kabupaten Simeulue telah mengeluarkan Qanun Nomor 05 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian Golongan C.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 2 Qanun Nomor 05 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C, disebutkan jenis-jenis bahan galian golongan C sebagai berikut:

(1) Dengan nama pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian C, dipungut pajak atas setiap kegiatan exploitasi bahan galian golongan C.

(2) Objek pajak adalah kegiatan exploitasi pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C.

(3) Bahan galian golongan C sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. Asbea;

b. Batu tulis;

d. Batu setengah permata

e. Batu kapur

f. Batu permata

g. Bentonit

h. Dolomit

i. Feldparas

j. Garam batu

k. Grafit

l. Granit

m. Gips

n. Kalasit

o. Kaulin

p. Lausit

q. Magnesit

r. Mika

s. Marmer

t. Nitrat

u. Opsiden

v. Oker

w. Pasir dan kerikil

x. Pasir kuarsa

y. Perlit

z. Pospat

aa. Talk

bb. Tanah Serat (Fuller Earth)

cc. Tanah Diatome

dd. Tanah Liat

ee. Tawas (Alum)

ff. Trass

gg. Yarosif

hh. Zeolit

ii. Batu Gunung.

Beberapa prinsip tentang pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan di dalam penyusunan UU tentang pajak daerah dan retribusi daerah yaitu:

1. Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional.

2. Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam Undang-undang (Closed-List).

3. Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam Undang-undang.

4. Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam undang-undang sesuai kebijakan pemerintahan daerah.

5. Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara preventif dan korektif. Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum ditetapkan menjadi Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi.[12]

Guna meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus menerus dan sekaligus menciptakan good governance dan clean government, penerimaan beberapa jenis pajak daerah wajib dialokasikan (di-earmark) untuk mendanai pembangunan sarana dan prasarana yang secara langsung dapat dinikmati oleh pembayar pajak dan seluruh masyarakat.[13]

B. Fungsi Pajak Daerah

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:

  1. Fungsi Anggaran (Budgetair)

Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya.[14]

Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak. Fungsi budgetair adalah fungsi yang letaknya di sektor publik yaitu fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-undang yang berlaku yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.[15]

Fungsi budgetair ini merupakan fungsi utama pajak, atau fungsi fiscal, yaitu suatu fungsi dalam mana pajak digunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan Undang-Undang perpajakan yang berlaku. Disebut sebagai fungsi utama, karena fungsi inilah yang secara historis pertama kali muncul. Pajak digunakan sebagai alat untuk menghimpun dana dari masyarakat tanpa ada kontraprestasi secara langsung dari zaman sebelum masehi sudah dilakukan. Berdasarkan fungsi ini, pemerintah sebagai pihak yang membutuhkan dana untuk membiayai berbagi kepentingan dengan cara memungut pajak dari penduduknya.[16]

2. Fungsi mengatur (regulerend)

Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.[17]

Fungsi regulerend atau fungsi mengatur disebut juga fungsi tambahan yaitu suatu fungsi dalam mana pajak dipergunakan oleh pemerintah sebagai alat unuk mencapai tujuan tertentu. Disebut sebagai fungsi tambahan karena fungsi ini hanya sebagai pelengkap dari fungsi utama pajak, yakni fungsi budgetair. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pajak dipakai sebagai alat kebijaksanaan, misalnya: Pemerintah menentukan tujuan untuk memberantas/menghilangkan kebiasaan mabuk-mabukan di kalangan generasi muda. Di sini pemerintah dapat menggunakan pajak sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut dengan cara memajaki harga miniman keras sedemikian rupa, sehingga tidak terjangkau lagi oleh sebagian besar genarasi muda.[18]

Dengan fungsi mengatur ini berarti pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan.

3. Fungsi stabilitas

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.[19]

4. Fungsi redistribusi pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.[20]

C. Sistem Pemungutan Pajak Daerah

Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah.

Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemungutan pajak, yaitu:

1. Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya.

2. Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum.

3. Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak.

Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal "The Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:[21]

a. Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.

b. Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.

c. Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.

d. Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.

Sedangkan menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:[22]

a. Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.

b. Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.

c. Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

d. Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).

e. Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandinglan sengan nilai obyek pajak. Sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.

Sedangkan menurut Adolf Wagner, asas pemungutan pahak adalah sebagai berikut :[23]

a. Asas politik finalsial : pajak yang dipungut negara jumlahnya memadadi sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara

b. Asas ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat Misalnya: pajak pendapatan, pajak untuk barang-barang mewah

c. Asas keadilan yaitu pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula.

d. Asas administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya) dan besarnya biaya pajak.

e. Asas yuridis segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang.

Menurut R. Santoso Brotodiharjo, dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ada beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu:[24]

  1. Teori asuransi.

Menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi deiperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini dianggap sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyajk ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi.

  1. Teori kepentingan

Menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada perlindungan jaminan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang yang miskin justru dibebaskan dari beban pajak.

Secara umum, sistem pemungutan pajak yang digunakan dalam pemungutan pajak daerah adalah sistem self assessment dan sistem official assessment. Self assesment system adalah suatu sistem perpajakan yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakkannya. Jadi, wajib pajak sendirilah yang menghitung dan menilai pemenuhan kewajiban perpajakannya. Tata cara pemungutan pajak dengan Self assesment system akan berhasil dengan baik apabila masyarakat mempunyai pengetahuan dan disiplin pajak yang tinggi.[25] Sedangkan dalam sistem official assessment, besarnya kewajiban pajak wajib pajak ditentukan sepenuhnya oleh fiskus selaku pemungut pajak.[26]

Dalam melaksanakan sistem pemungutan pajak mana yang akan diterapkan pada suatu jenis pajak daerah, kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota) menetapkan jenis pajak yang dibayar sendiri oleh wajib pajak, ditetapkan oleh kepala daerah atau dipungut oleh pemungut pajak. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kepastian dalam pemungutan suatu jenis pajak daerah di setiap daerah yang memberlakukannya.[27]

Wajib pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara membayar sendiri, diwajibkan melaporkan pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD. Apabila wajib pajak yang diberi kepercayaan menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yag terutang tidak memenuhi kewajibannya kepadanya dapat diterbitkan SKPDKB dan/atau SKPDKBT yang menjadi sarana penagihan pajak.

Dalam melaksanakan sistem pemungutan pajak mana yang akan diterapkan pada suatu jenis pajak daerah, kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota) menetapkan jenis pajak yang dibayar sendiri oleh wajib pajak, ditetapkan oleh kepala daerah atau dipungut oleh pemungut pajak. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kepastian dalam pemungutan suatu jenis pajak daerah di setiap daerah yang memberlakukannya.[28]


[1] Koswara. Otonomi Daerah: Untuk Demokrasidan Kemandirian Rakyat, Yayasan Pariba, Jakarta, 2001. Hal. 47.

[2] Soetrisno, Dasar-dasar Ilmu Keuangan Negara, Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Jogyakarta, 1984, hal. 105.

[3] Bintoro Tjokroamidjojo, Pengantar Administrasi Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 1985, hal. 161

[4] R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT. Refika Aditama, Jakarta-Bandung, 2003, hal. 2.

[5] Rochmat Soemitro, Dasat-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, N.V. Eresco, Jakarta-Bandung, 1965, hal. 19.

[6] Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, Perpajakan: Konsep, Teori, dan Isu, Prenada Media group, Jakarta, 2006, hal. 25.

[7] Soetrisno, Dasar-Dasar Ilmu Keuangan Negara, Andi Offset, Yoyakarta, 1999, hal. 18.

[8] Azhari A. Samudra, Perpajakan di Indonesia Keuangan Pajak dan Retribusi, PT. Hecca Mitra Utama, Jakarata, 2005, hal. 49.

[9] Lihat dalam Pasal 1 Ayat (2) huruf f UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, namun dengan diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka UU No. 34 Tahun 2000 dinyatakan tidak berlaku lagi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 UU No. 28 Tahun 2009.

[10] Marihot P. Siahan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005,, hal. 2-3.

[11] R. Soedargo, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, N.V. Eresco, Bandung, 1964, hal. 17

[12] Arief Eka Setiawan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, http://blog.beswandjarum.com/ariefekasetiawan/2010/02/05/uu-no-28-tahun-2009-tentang-pajak-daerah-dan-retribusi-daerah/, diakses pada tanggal 22 Mei 2010

[13] Ibid.

[14] Abdul Asri Harahap, Paradigma Baru Perpajakan Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1992, hal. 20.

[15] Mirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2001, hal. 8

[16] Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, Op Cit, hal. 26

[17] Danny Septriadi dan Darussalam, Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan Pajak, Pneerbit PT Gramedia Widiasarana, Jakarta, 2001. Hal. 49.

[18] Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, Granit, Jakarta, 2005, hal. 36

[19] Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, Op Cit, hal. 29

[20] Safri Nurmantu, Op Cit, hal. 41.

[21] Azhari A. Samudra, Oo Cit, hal. 54.

[22] Merdismo, Perpajakan, Edisi 3, Andi Offset, Yogyakarta, 1991, hal. 81.

[23] Ibid, Hal. 83

[24] R. Santoso Brotodiharjo,Op Cit, Hal. 26

[25] Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, Op Cit, hal. 81.

[26] Ibid, hal. 86.

[27] Marihot P. Siahan, Op Cit hal. 70.

[28] Marihot P. Siahan, Op Cit hal. 70.