Monday, June 21, 2010

IMPLEMENTASI QANUN NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KHAMAR DALAM PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI PROVINSI ACEH

A. Implementasi Penerapan Qanun Khamar Dalam Penegakan Syari’at Islam

Khamar berasal dari bahasa Arab artinya menutupi. Jenis minuman yang memabukkan (menutupi kesehatan akal). Sebagian ulama seperti Imam Hanafi memberikan pengertian khamar sebagai nama (sebutan) untuk jenis minuman yang dibuat dari perasan anggur sesudah dimasak sampai mendidih serta mengeluarkan buih dan kemudian menjadi bersih kembali. Sari dari buih itulah yang mengandung unsur yang memabukkan. Ada pula yang memberi pengertian khamar dengan lebih menonjolkan unsur yang memabukkannya. Artinya, segala jenis minuman yang memabukkan disebut khamar.

Dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 90 yang artinya, ''Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.'' Dalam ayat ini, manusia dituntut untuk meninggalkan minum khamar, karena hal ini termasuk perbuatan keji atau perbuatan setan.

Khamar yang memabukkan itu disebut induk kejahatan karena orang yang mabuk akan hilang kendali kesadarannya. Oleh karena itu, meminum khamar termasuk salah satu dosa besar. Hal ini disebutkan dalam hadis riwayat Tabrani dari Abullah bin Umar yang artinya, ''Khamar adalah ibu kejahatan dan terbesar dosa-dosa besar dan barangsiapa meminum khamar, maka akan meninggalkan salat dan terjatuh (menggauli) ibu dan bibinya.'' Nabi SAW juga menggambarkan orang yang meminum khamar ibarat orang yang menyembah berhala, artinya telah hilang Islamnya. (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Di Aceh telah diatur mengenai pengharaman minuman khamar yaitu dengan diundangkannya Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar. Dari sisi kesehatan mengonsumsi naza akan mengakibatkan gangguan daya ingat, gangguan koordinasi, penyakit jantung, liver, ginjal, HIV/AIDS, bahkan kematian karena over dosis. Selain fisik, pengguna juga mengalami gangguan mental dan perilaku. Mengunakan naza akan mengakibatkan kerusakan pada jaringan syaraf. Terjadi gangguan pada sinyal penghantar syaraf sel-sel otak. Akibatnya pikiran, perasaan, dan perilaku pemakai naza akan terganggu.

Hukuman yang diterima bukan hanya bagi peminum khamar saja akan tetapi juga bagi yang menjual, mengedarkan juga dikenai dengan hukuman uqubat. Menurut Pasal 4 Qanun No. 12 Tahun 2003 menyebutkan bahwa khamar adalah haram, dikarenakan banyak hal mudharat yang ditimbulkan bagi peminum khamar tersebut, terutama dari aspek kesehatan.

Di dalam qanun ini uqubat ta’zir cambuk dianggap sebagai alternatif atas uqubat ta’zir penjara; cambuk satu kali dianggap setara dengan penjara satu bulan. Sedang denda tidak ditetapkan sebagai uqubat alternatif, tetapi sebagai tambahan atas uqubat ta’zir cambuk. Walaupun ditetapkan sebagai tambahan, tetap diikuti kesejalanan bahwa cambuk satu kali sama dengan denda sepuluh gram emas.

Penerapan syariat islam berdasarkan Qanun No. 12 Tahun 2003 tersebut hanya berdampak bagi rakyat kecil saja, dimana rakyat kecil yang tertangkap dan dihukum ‘uqubat cambuk sedangkan hukuman tersebut tidak menyentuh pihak yang mempunyai kekuasaan. Sehingga penerapan qanun tersebut banyak yang menganggap bersifat diskriminasi.


B. Efektifitas Rasa Jera Yang Diemban Oleh Peminum Khamar Dalam Pelaksanaan Hukuman

Dasar pemberlakuan Qanun Jinayah ini merupakan perintah dari UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang terdapat dalam Pasal 128 ayat 4 UUPA: ‘Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum Pidana) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh’. Namun jika dilihat lebih jauh, dasar pemberlakuan Qanun ini bukan karena UUPA saja, budaya Islam, dan konsesi politik dalam membangun perdamaian di Aceh yang melahirkan pemberlakuan Syari’at Islam menjadi salah satu solusi damai di Aceh adalah yang fundamental kenapa Qanun ini kemudian diberlakukan, namun hal ini juga masih patut dipertanyakan apakah sebagian besar umat Muslim di Aceh menghendaki pemberlakuan syari’ah Islam sebagaimana diatur di dalam Qanun ini? Atau jangan-jangan pemberlakuan qanun ini merupakan politisasi agama dari kalangan elit tertentu di Aceh.

Hukum yang sesuai HAM adalah hukuman yang membuat jera pelaku kejahatan dan melindungi orang-orang tak bersalah dari kejahatan. Akan tetapi banyak ditemui bahwa pelaksanaan hukuman bagi pelanggar syariat islam termasuk bagi peminum khamar adalah rakyat kecil, sehingga hal tersebut ditentang oleh sekelompok pihak pemerhati HAM.

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Qanun No. 12 Tahun 2003 menyebutkan bahwa masyarakat punya peran dalam mengawasi dan meninjau agar minuman khamar tersebut tidak dikonsumsi, diedarkan dan dijual dalam suatu daerah selain peran pemerintah dan aparat yang berwenang. Dengan adanya pengawasan yang dimulai dari masyarakat sendiri maka dengan sendirinya pelanggaran syariat islam, khususnya peminum khamar dapat dihindari.

Peminum khamar yang telah ditangkap, diadili dan diputus menurut putusan Mahkamah Syar’iyah dapat dijatuhi hukuman cambuk beberapa kali sebagaimana ditentukan dalam qanun. Pelaksanaan hukuman cambuk yang dilakukan dihadapan puluhan masyarakat dimaksudkan agar pelaku merasa jera dan malu sehingga tidak melakukan perbuatan yang dilarang tersebut lagi

Khamar yang apabila meminumnya haram mempunyai daya merusak bagi kesehatan manusia. Oleh karena itu upaya untuk menghilangkan kebiasaan meminum minuman yang memabukkan dapat dilakukan dengan jalan peran serta pengawasan masyarakat. Terkait hukuman cambuk yang diputuskan bagi peminum khamar dapat menimbulkan rasa jera dan malu sehingga tidak diulangi kembali. Dengan adanya gambaran tersebut maka distribusi khamar dalam suatu daerah dapat diminimalisir.