Saturday, June 26, 2010

QANUN JINAYAH DAN HUKUM ACARA JINAYAH (yang) TELAH HILANG

(Kajian Penemuan Hukum Dalam Pembaharuan Syari’at Islam di Aceh)

Oleh:

ZAKI ‘ULYA, S.H

Alumni Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

dan Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Hukum

Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

A. Pendahuluan

Aceh merupakan salah satu daerah provinsi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diberikan status istimewa dan juga khusus. Hal tersebut tentu dengan diberlakukannya UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh dan juga dengan undangkannya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Bagi Provinsi NAD, yang digantikan dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Berdasarkan ketentuan dalam UU No, 44 Tahun 1999, syari’at islam berdengung keras di bumi Serambi Mekkah. Hal ini ditandai dengan adanya 4 (empat) keistimewaaan yang diberlakukan di Aceh menurut undang-undang tersebut. Diantaranya yaitu bidang agama/syari’at islam, pendidikan, adat istiadat dan juga peran ulama.

Penegakan syari’at islam telah dimulai dengan diberlakukannya Qanun No. 12 Tahun 2003, Qanun 13 Tahun 2003 dan Qanun 14 Tahun 2003 dimana kesemua qanun tersebut mengenai khamar, maisir, dan khalwat. Pelaksanaan penegakan ketiga qanun tersebut ditandai dengan dibentuknya Wilayatul Hisbah sebagai satuan khusus penegak syari’at islam. Menyimak pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, terdapat beberapa keluhan terkait dengan metode penerapan Syariat Islam yang cenderung dipraktekkan dengan cara-cara bernuansa kekerasan oleh masyarakat di berbagai kabupaten dan kota di Aceh, dan pihak pelaksana Syariat Islam seperti tidak berdaya mencegah meluasnya tindak kekerasan yang sering diberitakan melalui media-media lokal di Aceh

Medium 2009, berkembang wacana dan juga niat Pemerintah Aceh untuk menggabungkan ketiga materi muatan qanun tersebut dalam satu naskah qanun dan juga penerapan aturan formilnya ditentukan juga tentang hukum acaranya yang kemudian disebut dengan Qanun Jinayah dan juga Qanun Acara Jinayah. Pembahasan kedua rancangan tersebut berjalan dilematis, dikarenakan adanya tarik ulur antara eksekutif dan legislatif Aceh terkait materi yang akan diatur.

Pembahasan tersebut kemudian mencapai anti klimaksnya dimana munculnya wacana bahwa qanun tersebut telah disahkan oleh pemerintah Aceh dan juga adanya kabar bahwa kedua rancangan tersebut disahkan sepihak oleh pihak legislatif Aceh. Dalam kaitannya dengan tema yang dikaji, penulis mengkaji pembahasan kedua rancangan tersebut dengan perspektif penemuan hukum dan juga hal kemungkinan yang akan dihadapi dalam tingkat pengesahannya.

B. Perspektif Penemuan Hukum Dalam Hukum Positif

Berbicara mengenai penemuan hukum tentu tidak lepas kepada subjek hukum yang dapat melakukan penemuan hukum. Dalam hukum, penemuan hukum disebut rechtsvinding. Penemuan hukum, pada hakekatnya mewujudkan pengembanan hukum secara ilmiah dan secara praktikal. Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum.[1]

Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkret. Terkait padanya antara lain diajukan pertanyaan-pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum harus diterapkan. Penemuan hukum berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum.[2]

Sebagai subjek yang dapat melakukan penemuan hukum, pada umumnya adalah hakim dengan eksistensinya dapat menggali nilai-nilai hukum yang ada dalam masyarakat dan mengenyampingkan hukum positif yang berlaku. Undang-undang sebagai salah satu pedoman hakim dalam memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan, kadangkala belum ada, tidak lengkap atau tidak jelas, sehingga hakim dituntut untuk menemukan, melengkapinya atau mencari kejelasan akan ketentuan hukumnya, dengan mencari, menggali atau mengikuti nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat, sehinga putusan hakim akan mereflesikan rasa keadilan dan kebenaran serta membawa kemaslahatan bagi masyarakat luas, bangsa dan negara.[3]

Namun, ada juga pihak lain yang dapat melakukan penemuan hukum , yaitu pihak legislatif selaku lembaga yang berwenang dalam menetapkan hukum. Penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh pihak legislatif yaitu dengan memasukkan ketentuan yang merupakan aspirasi masyarakat dan menampung aspirasi masyarakat dalam sebuah aturan hukum.

Dalam proses pengambilan keputusan hukum, seorang ahli hukum pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas atau fungsi utama, yaitu :

a. Seorang ahli hukum senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit (perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat, dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita yang hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri. Hal ini perlu dilakukan oleh seorang ahli hukum karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya tidak selalu dapat ditetapkan untuk mengatur semua kejadian yang ada didalam masyarakat. Perundang-undangan hanya dibuat untuk mengatur hal-hal tertentu secara umum saja.

b. Seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan sebab adakalanya pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan perkembangan didalam masyarakat.[4]

Melihat pernyataan diatas, maka dapat dipahami bahwa setiap ahli hukum mempunyai peran dan juga tugas dalam menemukan hukum dan setiap perundang-undangan yang ditetapkan setidaknya merupakan cerminan aspirasi masyarakat. Bukan merupakan parasit dalam masyarakat yang tidak dapat dilaksanakan maupun ditegakkan sama sekali.

C. Dilema Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Qanun Jinayah dan Acara Jinayah Serta Dampaknya

Tujuan dari pembentukan qanun jinayah dan acara jinayah adalah untuk mengakulmulasikan ketentuan syariat sebelumnya yang telah diatur dalam Qanun No. 12 Tahun 2003. Qanun No. 13 Tahun 2003 dan Qanun No. 14 Tahun 2003. Pro dan kontra terhadap kedua qanun tersebut, khususnya menyangkut jenis hukuman bagi pelaku zina dimana terdapat salah satu pasal yang diperdebatkan dan dipertentangkan yaitu masalah hukuman rajam (uqubat). Uqubat yaitu hukuman mati bagi pelanggar syariat islam (dalam hal ini, zina) dengan lemparan batu. Bagi pelaku yang belum menikah maka dihukum dengan hukuman cambuk sebanyak 100 kali cambuk.[5]

Prihal materi tersebutlah yang membuat kedua rancangan qanun tersebut bermasalah, hingga saat ini. Permasalahan tersebut coba ditutupi oleh pihak legislatif Aceh dengan mengesahkan qanun tersebut. Banyak pihak baik itu para praktisi dan akademisi hukum yang terlibat maupun tidak secara langsung dalam proses legislasi tersebut, berdiam diri. Seakan tiada upaya mengklarisifikasi hal tersebut.

Banyak hal yang akan terjadi bilamana kedua aturan hukum tersebut berlaku. Penerapan dan juga pelaksanaan penegakan kedua qanun tersebut akan terhambat secara praktis, dimana menurut penulis hambatan tersebut diantaranya budaya yang berlaku dan hidup di Aceh seperti tidak siap dengan adanya aturan hukum mengenai hukuman cambuk maupun rajam.

Hal ini tentu dapat dipahami, bahwa kondisi sosiologis masyarakat Aceh yang memang masih berjenjang. Maksud dari berjenjang disini adalah adanya stratifikasi sosial dan pembedaan kelas dalam masyarakat. Secara langsung, aturan tersebut akan berdampak pada masyarakat kelas bawah. Yaitu, masyarakat yang hanya mempunyai kemampuan ekonominya dibawah standar. Pernyataan tersebutpun penulis nyatakan bukan dengan tanpa alas an. Dapat dilihat selama diberlakukannya hukum cambuk, masyarakat awam dan kelas bawah saja yang dapat dicambuk.

D. Peran Political Will Seluruh Pihak Terkait

Political will pihak terkait sangat dibutuhkan dalam mendengungkan kembali kedua aturan hukum tersebut untuk dibahas kembali. Pembahasan kembali dapat dilakukan dengan menjaring kembali aspirasi masyarakat, sehingga kedua aturan hukum tersebut benar-benar mencerminkan tatanan kehidupan masyarakat, bukan aturan yang dipaksakan.

Sebagaimana diketahui bahwa kedua rancangan qanun tersebut seperti menguap dan menghilang tiada kabar. Oleh karena itu, dengan menjunjung nilai-nilai yang berlaku, pihak legislatif dan juga Pemerintah Aceh pun mempunyai peran tinggi dalam menyukseskan qanun tersebut. Hal ini sebagaimana kewenangan keduanya dalam membuat perundang-undangan tingkat daerah. Peran kedua lembaga tersebut dalam menemukan dan juga menentukan aturan hukum sangatlah besar. Sebuah cita-cita hukum akan tercapai dengan baik apabila tanpa adanya indikasi money politic.

Oleh karena itu, penulis menekankan adanya peran serta seluruh pihak yang ada untuk dapat mengadvokasi kembali kedua aturan tersebut agar sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Sehingga cita-cita hukum, yaitu pelaksanaan syari’at islam secara kaffah terealisasi dengan sebenar-benarnya. []



[1] Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya, Jakarta, 2001, hal. 13

[2] Ibid

[3] Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim, Sinar Grafika, 2010, hal. 20

[4] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty Yogyakarta, 2001, hal. 46

[5] Dapat dilihat dalam Zaki ‘Ulya, Perspektif Qanun Jinayah Dan Qanun Acara Jinayah Dalam Menciptakan Kelestarian Syariat Islam, http://www.id.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=650:perspektif-qanun-jinayah-dan-qanun-acara-jinayah-dalam-menciptakan-kelestarian-syariat-islam&catid=137:pro-kontra-qanun-jinayah&Itemid=267, diakses pada tanggal 24 Juni 2010